Apakah Seorang Musafir Tetap Shalat Berjamaah Di Masjid
APAKAH SEORANG MUSAFIR TETAP SHALAT BERJAMAAH DI MASJID?
Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Pertanyaan.
Apakah lebih utama bagi musafir shalat di rumah yang ia tempati ataukah ia datang ke masjid dan shalat bersama penduduk setempat?
Jawaban
Pembuat syari’at Yang Maha Bijaksana telah menggugurkan (kewajiban) bagi musafir untuk shalat jum’at, kemudian gugur juga (kewajiban) shalat jama’ah. Akan tetapi shalat jamaah yang digugurkan adalah jamaah bersama penduduk setempat, adapaun sesama musafir mereka wajib berjamaah sesama mereka.
Adapun mana yang lebih utama saya katakan bahwa yang lebih utama adalah yang lebih bermanfaat dan lebih mudah baginya dan hukum ini adalah seperti hukum shalatnya wanita di rumah, yang lebih utama bagi wanita adalah shalat di rumah karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
وَبُيُوْ تُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka
Akan tetapi kita tidak boleh lupa bahwa para wanita di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka bolak-balik ke masjid, dan mereka shalat di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga berkata sayyidah Aisyah.
لَقَدْ كَانَتِ النِّسَاءُ الْمُسْلِمَاتُ يُصَلِّيْنَ الْفَجرَ خَلفَ النَّبِيِ ثُمَّ يَنْصَرِفِنَ فَي الْغَلَسِ وَهُنَّ مُتَلَفَّعَاتُ بِمُرُوطِهِنَّ وَلاَ يُعْرَفْنَ مِنْ شِدَّةِ الْغَلَسِ
Para wanita muslimat sering shalat shubuh di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka pulang dalam kegelapan (shubuh) dan mereka menyelubungkan pakaian mereka, dan mereka tidak dikenal karena pekatnya gelap (awal shubuh).
Mereka pegi ke masjid padahal shalat (di rumah) itu lebih baik bagi mereka. Dan hukum ini tetap berlaku walaupun banyak perempuan-perempuan di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shalat di masjid.
Dari sini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa kadang-kadang di dalam kekurangan itu muncul keutamaan. Dan di dalam keutamaan itu kadang-kadang muncul kekurangan. Kemudian beliau membawakan beberapa contoh di antaranya adalah shalatnya wanita di masjid.
Maka yang lebih utama bagi wanita adalah shalat di rumah, bahkan lebih utama lagi di dalam kamar khusus. Semakin jauh dari pandangan, semakin utama baginya.
Meskipun demikian para wanita di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak yang shalat di masjid, karena mereka butuh kepada ilmu, dan ilmu tersebut tidak mungkin mereka peroleh jika mereka di rumah terus. Maka dalam keadaan seperti ini shalatnya wanita di masjid lebih utama daripada di rumah karena akan mendapat manfaat yang besar berupa ilmu dan tarbiyah Islam yang tidak mereka dapatkan jika mereka shalat di rumah. Dan keluarnya wanita seharusnya disertai dengan menjaga adab-adab Islam, saat ia keluar, saat kembali dan saat di perjalanan.
Berdasarkan hal ini, ku katakana : “Jika seorang musafir mendapatkan di masjid suatu faidah dan manfaat, maka lebih utama baginya shalat di masjid, jika tidak maka lebih mudah dan lebih utama baginya shalat di rumah.
Pertanyaan.
Jika seseorang tinggal di suatu negeri selama empat hari, apakah ia harus menyempurnakan shalat ataukah meng-qashar-nya?
Jawaban.
Empat hari itu tidak ada hubungannya dengan niat mukin atau musafir. Tetapi mukim atau musafir itu tergantung dengan niat seorang mukallaf dan keadaannya.
Orang yang datang di suatu negeri untuk berdagang dan memperkirakan bahwa perdagangannya membutuhkan waktu empat hari maka orang ini tidak bisa disebut mukim. Tergantung bagaimana niatnya (kalau dia tidak berniat mukim, maka dia harus meng-qashar shalatnya).
[Disalin dari kitab Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatw Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/551-apakah-seorang-musafir-tetap-shalat-berjamaah-di-masjid.html